Bermula
dari Ketetapan MPR-RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah;
Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan;
serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Dilanjutkan
dengan 7 Mei 1999, lahir UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah selanjutnya
UU No. 25/1999 yang mengatur hubungan keuangan pusat dan daerah, menggantikan
UU No. 5/1974 yang sentralistik.
Kedua
undang-undang ini mengatur wewenang otonomi yang diberikan luas kepada
pemerintah tingkat kabupaten dan kota. Bupati dan walikota pun dinyatakan bukan
lagi sebagai aparat pemerintah yang hierarkis di bawah gubernur. Jabatan
tertinggi di kabupaten dan kota itu merupakan satu-satunya kepala daerah di
tingkat lokal, tanpa bergantung pada gubernur.
Setiap bupati dan walikota memiliki kewenangan penuh untuk
mengelola daerah kekuasaannya. Keleluasaan atas kekuasaan yang diberikan kepada
bupati/walikota dibarengi dengan mekanisme kontrol (checks
and balances) yang
memadai antara eksekutif dan legislatif.
Parlemen
di daerah tumbuh menjadi sebuah kekuatan politik riil yang baru. Lembaga
legislatif ini secara merdeka dapat melakukan sendiri pemilihan gubernur dan
bupati/walikota tanpa intervensi kepentingan dan pengaruh politik pemerintah
pusat. Kebijakan di daerah juga dapat ditentukan sendiri di tingkat daerah atas
kesepakatan pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD).
Undang-undang yang baru juga mengatur bahwa setiap peraturan daerah dapat
langsung dinyatakan berlaku setelah disepakati sejauh tidak bertentangan dengan
peraturan perundangan yang lebih tinggi tingkatannya. Hal ini kontras berbeda
dengan ketentuan sebelumnya yang mensyaratkan adanya persetujuan dari penguasa
pemerintahan yang lebih tinggi bagi setiap perda yang akan diberlakukan.
UU No
22/1999 dan UU No 25/1999 juga memberikan kerangka yang cukup ideal bagi
terwujudnya keadaan politik lokal yang dinamis dan demokratis di setiap daerah.
Namun, praktik-praktik politik yang menyusul setelah itu masih belum sepenuhnya
memperlihatkan adanya otonomi yang demokratis. Setidaknya terdapat dua penyebab
utama mengapa hal ini bisa terjadi.
Pertama,
pemerintah pusat rupanya tak kunjung serius memberikan hak otonomi kepada
pemerintahan di daerah. Ketidakseriusannya dapat dilihat dari pembiaran
pemerintah pusat terhadap berbagai peraturan perundang-undangan lama yang tidak
lagi sesuai dengan UU otonomi yang baru. Padahal, ada ratusan Peraturan
Pemerintah, Keputusan Presiden dan berbagai peraturan lainnya yang harus
disesuaikan dengan kerangka otonomi daerah yang baru. Ketiadaan aturan
pelaksanaan baru yang mendukung otonomi daerah yang demokratis menjadikan kedua
UU menyangkut otonomi daerah itu mandul dan tak efektif. Sementara di tingkat
daerah, ketiadaannya telah melahirkan kebingungan.
Kedua,
desentralisasi telah menggelembungkan semangat yang tak terkendali di kalangan
sebagian elit di daerah sehingga memunculkan sentimen kedaerahan yang amat
kuat. Istilah putra daerah mengemuka di mana-mana mewakili sentimen kedaerahan
yang terwujud melalui semacam keharusan bahwa kursi puncak pemerintahan di
daerah haruslah diduduki oleh tokoh-tokoh asli dari daerah bersangkutan. Hal
ini tentu saja bukan sesuatu yang diinginkan apalagi menjadi tujuan pelaksanaan
otonomi daerah. Bagaimanapun, fenomena putra daerah itu begitu meruak di
berbagai daerah.
Hubungan
pusat dan daerah juga masih menyimpan ancaman sekaligus harapan. Menjadi sebuah
ancaman karena berbagai tuntutan yang mengarah kepada disintegrasi bangsa
semakin besar. Bermula dari kemerdekaan Timor Timur (atau Timor Leste) pada
tanggal 30 Agustus 1999 melalui referendum. Berbagai gelombang tuntutan
disintegrasi juga terjadi di beberapa daerah seperti di Aceh, Papua, Riau dan Kalimantan.
Meskipun ada sejumlah kalangan yang menganggap bahwa kemerdekaan Timor Timur
sudah seharusnya diberikan karena perbedaan sejarah dengan bangsa Indonesia dan
merupakan aneksasi rezim Orde Baru, tetapi efek domino yang timbulkannya masih
sangat dirasakan, bahkan dalam MoU Helsinki yang menghasilkan UU Pemerintahan
Aceh.Gejolak terus berlanjut hingga, Aceh dan Papua akhirnya diberi otonomi
khusus.
Menjadi harapan, karena Amandemen kedua konstitusi, telah
mengubah wajah Pemerintahan Daerah menjadi lebih demokratis dan lebih
bertanggung jawab. Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 (redaksi baru), Perubahan Kedua,
berbunyi, Pemerintahan Daerah menjalankan
otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemreintahan yang oleh undang-undang
ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. Pasal 1 ayat (1) UUD
1945 tidak dapat dibaca secara terpisah dengan Pasal 18 ayat (1) dan (5) UUD
1945 (redaksi baru).
Dalam pemhaman ini, M. Laica Marzuki mengatakan, bentuk negara (de staatsvorm) RI secara
utuh harus dibaca -dan dipahami- dalam makna: Negara Indonesia ialah Negara
Kesatuan yang berbentuk Republik, yang disusun berdasarkan desentralisatie,
dijalankan atas dasar otonomi yang seluas-luasnya, menurut Pasal 1 ayat (1) UUD
1945 (redaksi baru) juncto Pasal 18 ayat (1) dan (5) UUD 1945 (redaksi
baru).
Lima
tahun berlangsung, UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999 dipandang perlu direvisi,
hingga lahirlah UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33/2004
tentang Perimbangan Keuangan menggantikan UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999 tersebut.
Pasal
1 angka 7 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah merumuskan
desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus pemerintahan dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam pasal
tersebut adalah Pemerintah Pusat, dalam hal ini Presiden RI yang memegang
kekuasaan pemerintahan negara RI, menurut UUD 1945 (Pasal 1 angka 1 UU Nomor 32
Tahun 2004).
Penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada
daerah otonom bermakna peralihan kewenangan secara delegasi, lazim disebut delegation
of authority.
Tatkala
terjadi penyerahan wewenang secara delegasi, pemberi delegasi kehilangan
kewenangan itu, semua beralih kepada penerima delegasi. Dalam hal pelimpahan
wewenang secara mandatum, pemberi mandat atau mandator tidak kehilangan
kewenangan dimaksud. Mandataris bertindak untuk dan atas nama mandator.
Dengan
demikian, dalam hal penyerahan kewenangan pemerintahan oleh pemerintah pusat
kepada daerah otonom secara delegasi, untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan memberikan konsekuensi bahwasanya pemerintah pusat kehilangan
kewenangan dimaksud. Semua beralih kepada daerah otonom, artinya menjadi
tanggungjawab pemerintahan daerah, kecuali urusan pemerintahan yang oleh
undang-undang dinyatakan sebagai urusan pemerintah pusat. Pasal 10 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menetapkan, bahwasanya urusan pemerintahan
yang menjadi urusan pemerintah pusat meliputi a. politik luar negeri, b.
pertahanan, c. keamanan, d. yustisi, e. moneter dan fiskal, f. agama.
Pusat
tidak boleh mengurangi, apalagi menegasikan kewenangan pemerintahan yang telah
diserahkan kepada daerah otonom. Namun demikian, daerah otonom-daerah otonom
tidak boleh melepaskan diri dari Negara Kesatuan RI. Betapa pun luasnya cakupan
otonomi, desentralisasi yang mengemban pemerintahan daerah tidaklah boleh
meretak-retakkan bingkai Negara Kesatuan RI.
Secara
formal normatif, arah desentralisasi sudah cukup baik. Namun, dalam tataran
empiris komitmen pemerintah pusat tidak konsisten. Praktek-praktek monopoli dan
penguasaan urusan-urusan strategis yang menyangkut pemanfaatan sumber daya alam
termasuk perizinan di daerah, dikuasai pusat.
Intervensi
pusat pada daerah begitu besar. Penyerahan urusan/wewenangan yang semestinya
dilakukan dengan penyerahaan sumber keuangan tidak dilakukan. Pusat melakukan
penganggaran pembangunan daerah tanpa melibatkan DPRD sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah. Pembiayaan fungsi-fungsi pemerintahan di
daerah lebih dominan berasal dari APBN, yang semestinya diserahkan sebagai dana
perimbangan untuk APBD.
UU No.
32 Tahun 2004 ini sempat mengalami perubahan berdasarkan UU No. 8 tahun 2005
dan UU No. 12 tahun 2008.
Tahun
2007, kemudian dikeluarkan PP No. 38 tahun 2007 tentang pembagian urusan. Walau
telah dibagi-bagi kewenangan pusat dan daerah, namun PP ini dipandang telah
menegasikan kewenangan daerah. Revisi lebih komprehensif kemudian diwacanakan
kembali pada UU No. 32/2004 untuk lebih menterjemahkan lebih kongkrit
kewenangan pusat dan daerah. (Tamat)
Daftar
Pustaka:
1.
Diklat Teknis Penganggaran di Era Desentralisasi, kerjasama LAN - Depdagri.
2.
Seminar Desentralisasi Pemerintahan Inventarisasi Penyerahan Urusan
Pemerintahan Refleksi 10 tahun Otonomi Daerah, Ditjen Otda - Depdagri.
3. Marzuki, M. Laica,
2007. Hakikat Desentralisasi Dalam Sistem Ketatanegaraan RI - Jurnal Konstitusi
Vol. 4 Nomor 1 Maret 2007?, Jakarta : Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi RI
0 komentar:
Posting Komentar