Setelah Berkunjung Silahkan Berkomentar

Riko Anwar Saputra


Kamis, 10 Januari 2013

delegasi dalam otonomi daerah



       Bermula dari Ketetapan MPR-RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dilanjutkan dengan 7 Mei 1999, lahir UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah selanjutnya UU No. 25/1999 yang mengatur hubungan keuangan pusat dan daerah, menggantikan UU No. 5/1974 yang sentralistik.
Kedua undang-undang ini mengatur wewenang otonomi yang diberikan luas kepada pemerintah tingkat kabupaten dan kota. Bupati dan walikota pun dinyatakan bukan lagi sebagai aparat pemerintah yang hierarkis di bawah gubernur. Jabatan tertinggi di kabupaten dan kota itu merupakan satu-satunya kepala daerah di tingkat lokal, tanpa bergantung pada gubernur.
Setiap bupati dan walikota memiliki kewenangan penuh untuk mengelola daerah kekuasaannya. Keleluasaan atas kekuasaan yang diberikan kepada bupati/walikota dibarengi dengan mekanisme kontrol (checks and balances) yang memadai antara eksekutif dan legislatif.
Parlemen di daerah tumbuh menjadi sebuah kekuatan politik riil yang baru. Lembaga legislatif ini secara merdeka dapat melakukan sendiri pemilihan gubernur dan bupati/walikota tanpa intervensi kepentingan dan pengaruh politik pemerintah pusat. Kebijakan di daerah juga dapat ditentukan sendiri di tingkat daerah atas kesepakatan pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD). Undang-undang yang baru juga mengatur bahwa setiap peraturan daerah dapat langsung dinyatakan berlaku setelah disepakati sejauh tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi tingkatannya. Hal ini kontras berbeda dengan ketentuan sebelumnya yang mensyaratkan adanya persetujuan dari penguasa pemerintahan yang lebih tinggi bagi setiap perda yang akan diberlakukan.
UU No 22/1999 dan UU No 25/1999 juga memberikan kerangka yang cukup ideal bagi terwujudnya keadaan politik lokal yang dinamis dan demokratis di setiap daerah. Namun, praktik-praktik politik yang menyusul setelah itu masih belum sepenuhnya memperlihatkan adanya otonomi yang demokratis. Setidaknya terdapat dua penyebab utama mengapa hal ini bisa terjadi.
Pertama, pemerintah pusat rupanya tak kunjung serius memberikan hak otonomi kepada pemerintahan di daerah. Ketidakseriusannya dapat dilihat dari pembiaran pemerintah pusat terhadap berbagai peraturan perundang-undangan lama yang tidak lagi sesuai dengan UU otonomi yang baru. Padahal, ada ratusan Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan berbagai peraturan lainnya yang harus disesuaikan dengan kerangka otonomi daerah yang baru. Ketiadaan aturan pelaksanaan baru yang mendukung otonomi daerah yang demokratis menjadikan kedua UU menyangkut otonomi daerah itu mandul dan tak efektif. Sementara di tingkat daerah, ketiadaannya telah melahirkan kebingungan.
Kedua, desentralisasi telah menggelembungkan semangat yang tak terkendali di kalangan sebagian elit di daerah sehingga memunculkan sentimen kedaerahan yang amat kuat. Istilah putra daerah mengemuka di mana-mana mewakili sentimen kedaerahan yang terwujud melalui semacam keharusan bahwa kursi puncak pemerintahan di daerah haruslah diduduki oleh tokoh-tokoh asli dari daerah bersangkutan. Hal ini tentu saja bukan sesuatu yang diinginkan apalagi menjadi tujuan pelaksanaan otonomi daerah. Bagaimanapun, fenomena putra daerah itu begitu meruak di berbagai daerah.
Hubungan pusat dan daerah juga masih menyimpan ancaman sekaligus harapan. Menjadi sebuah ancaman karena berbagai tuntutan yang mengarah kepada disintegrasi bangsa semakin besar. Bermula dari kemerdekaan Timor Timur (atau Timor Leste) pada tanggal 30 Agustus 1999 melalui referendum. Berbagai gelombang tuntutan disintegrasi juga terjadi di beberapa daerah seperti di Aceh, Papua, Riau dan Kalimantan. Meskipun ada sejumlah kalangan yang menganggap bahwa kemerdekaan Timor Timur sudah seharusnya diberikan karena perbedaan sejarah dengan bangsa Indonesia dan merupakan aneksasi rezim Orde Baru, tetapi efek domino yang timbulkannya masih sangat dirasakan, bahkan dalam MoU Helsinki yang menghasilkan UU Pemerintahan Aceh.Gejolak terus berlanjut hingga, Aceh dan Papua akhirnya diberi otonomi khusus.
Menjadi harapan, karena Amandemen kedua konstitusi, telah mengubah wajah Pemerintahan Daerah menjadi lebih demokratis dan lebih bertanggung jawab. Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 (redaksi baru), Perubahan Kedua, berbunyi, Pemerintahan Daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemreintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 tidak dapat dibaca secara terpisah dengan Pasal 18 ayat (1) dan (5) UUD 1945 (redaksi baru).
Dalam pemhaman ini, M. Laica Marzuki mengatakan, bentuk negara (de staatsvorm) RI secara utuh harus dibaca -dan dipahami- dalam makna: Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik, yang disusun berdasarkan desentralisatie, dijalankan atas dasar otonomi yang seluas-luasnya, menurut Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 (redaksi baru) juncto Pasal 18 ayat (1) dan (5) UUD 1945 (redaksi baru).
Lima tahun berlangsung, UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999 dipandang perlu direvisi, hingga lahirlah UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan menggantikan UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999 tersebut.
Pasal 1 angka 7 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah merumuskan desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut adalah Pemerintah Pusat, dalam hal ini Presiden RI yang memegang kekuasaan pemerintahan negara RI, menurut UUD 1945 (Pasal 1 angka 1 UU Nomor 32 Tahun 2004).
Penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom bermakna peralihan kewenangan secara delegasi, lazim disebut delegation of authority.
Tatkala terjadi penyerahan wewenang secara delegasi, pemberi delegasi kehilangan kewenangan itu, semua beralih kepada penerima delegasi. Dalam hal pelimpahan wewenang secara mandatum, pemberi mandat atau mandator tidak kehilangan kewenangan dimaksud. Mandataris bertindak untuk dan atas nama mandator.
Dengan demikian, dalam hal penyerahan kewenangan pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom secara delegasi, untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan memberikan konsekuensi bahwasanya pemerintah pusat kehilangan kewenangan dimaksud. Semua beralih kepada daerah otonom, artinya menjadi tanggungjawab pemerintahan daerah, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang dinyatakan sebagai urusan pemerintah pusat. Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menetapkan, bahwasanya urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah pusat meliputi a. politik luar negeri, b. pertahanan, c. keamanan, d. yustisi, e. moneter dan fiskal, f. agama.
Pusat tidak boleh mengurangi, apalagi menegasikan kewenangan pemerintahan yang telah diserahkan kepada daerah otonom. Namun demikian, daerah otonom-daerah otonom tidak boleh melepaskan diri dari Negara Kesatuan RI. Betapa pun luasnya cakupan otonomi, desentralisasi yang mengemban pemerintahan daerah tidaklah boleh meretak-retakkan bingkai Negara Kesatuan RI.
Secara formal normatif, arah desentralisasi sudah cukup baik. Namun, dalam tataran empiris komitmen pemerintah pusat tidak konsisten. Praktek-praktek monopoli dan penguasaan urusan-urusan strategis yang menyangkut pemanfaatan sumber daya alam termasuk perizinan di daerah, dikuasai pusat.
Intervensi pusat pada daerah begitu besar. Penyerahan urusan/wewenangan yang semestinya dilakukan dengan penyerahaan sumber keuangan tidak dilakukan. Pusat melakukan penganggaran pembangunan daerah tanpa melibatkan DPRD sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Pembiayaan fungsi-fungsi pemerintahan di daerah lebih dominan berasal dari APBN, yang semestinya diserahkan sebagai dana perimbangan untuk APBD.
UU No. 32 Tahun 2004 ini sempat mengalami perubahan berdasarkan UU No. 8 tahun 2005 dan UU No. 12 tahun 2008.
Tahun 2007, kemudian dikeluarkan PP No. 38 tahun 2007 tentang pembagian urusan. Walau telah dibagi-bagi kewenangan pusat dan daerah, namun PP ini dipandang telah menegasikan kewenangan daerah. Revisi lebih komprehensif kemudian diwacanakan kembali pada UU No. 32/2004 untuk lebih menterjemahkan lebih kongkrit kewenangan pusat dan daerah. (Tamat)
Daftar Pustaka:
1. Diklat Teknis Penganggaran di Era Desentralisasi, kerjasama LAN - Depdagri.
2. Seminar Desentralisasi Pemerintahan Inventarisasi Penyerahan Urusan Pemerintahan Refleksi 10 tahun Otonomi Daerah, Ditjen Otda - Depdagri.
3. Marzuki, M. Laica, 2007. Hakikat Desentralisasi Dalam Sistem Ketatanegaraan RI - Jurnal Konstitusi Vol. 4 Nomor 1 Maret 2007?, Jakarta : Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI

0 komentar:

Posting Komentar