Desentralisasi
fiskal, yang merupakan penyerahan kewenangan di bidang keuangan antar level
pemerintahan yang mencakup bagaimana pemerintah pusat mengalokasikan sejumlah
besar dana dan/atau sumber-sumber daya ekonomi kepada daerah untuk dikelola
menurut kepentingan dan kebutuhan daerah itu sendiri. Bagi daerah,
desentralisasi fiskal berfungsi untuk menentukan jumlah uang yang akan
digunakan pemerintah daerah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Kepastian mengenai
jumlah alokasi dan mekanisme penyaluran akan menjadi bahan pengambilan
keputusan bagi pemerintah daerah untuk merencanakan jenis dan tingkat pelayanan
yang dapat diberikan kepada masyarakat. Pada intinya, desentralisasi fiskal
berupaya memberikan jaminan kepastian bagi pemerintah daerah bahwa ada
penyerahan kewenangan dan sumber-sumber pendapatan yang memadai untuk
memberikan pelayanan publik dengan standar yang telah ditentukan.
Tetapi pola
desentralisasi fiskal yang hingga sekarang diterapkan di Indonesia masih
terfokus pada otonomi pembiayaan, bukan pada otonomi pendapatan. Sekalipun
daerah memiliki kewenangan untuk menggali sumber-sumber pendapatan sendiri
tetapi ada pengecualian terhadap ekplorasi SDA. Oleh karena itu, pola transfer
keuangan dari pusat ke daerah masih menjadi elemen penting untuk menunjang
kapasitas keuangan daerah.
DAU sebagai salah
satu elemen desentralisasi fiskal menjadi elemen penting bagi pemerintah daerah
untuk menutup pembiayaaan daerah.
Dana Alokasi Umum
(DAU) adalah dana yang bersumber dari pendapatan Anggaran Pendapatan dan
Belanja negara (APBN) yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan
keuangan antardaerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi.
Implikasinya, DAU
dialokasikan kepada setiap daerah dalam rangka menjalankan kewenangan
pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan publik kepada masyarakat. DAU yang
merupakan transfer pemerintah pusat kepada daerah bersifat “block grant”, yang berarti daerah diberi keleluasaan dalam penggunaannya sesuai dengan
prioritas dan kebutuhan daerah dengan tujuan untuk menyeimbangkan kemampuan
keuangan antardaerah.
Kontribusi DAU bagi Daerah vs Penghapusan DAU “Daerah Kaya”
Sejauh mana
desentralisasi fiskal melalui instrumen utama dana alokasi umum atau DAU dan
pemberlakuan Undang-Undang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah berhasil
memberikan kontribusi bagi daerah untuk menekan ketimpangan di Indonesia?
Pertanyaan inilah yang menjadi titik berat yang harus dikaji lebih dalam,
mengingat masih besarnya disparitas antar daerah di Indonesia. Disparitas
antardaerah di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari ketidakmerataan dalam hal
penguasaan sumber daya alam atau sumber penerimaan antara daerah satu dan
daerah lainnya, selain juga perkembangan industri setempat. Ketidakadilan
perimbangan pendapatan daerah atas eksplorasi sumber daya alam juga masih
terjadi di beberapa wilayah, khususnya di wilayah-wilayah yang menjadi produsen
migas di Indonesia seperti Riau dan Kalimantan Timur. Porsi kecil yang diterima
daerah tidak berdampak signifikan terhadap pertumbuhan dan perkembangan
pembangunan di daerah-daerah tersebut, karena sebagian besar hasil eksplorasi
SDA lebih banyak di parkir di pusat dibanding di daerah. Kondisi akan semakin
buruk lagi, apabila daerah-daerah tersebut menghadapi penghapusan DAU karena
peringkat ”Kaya” dari pemerintah pusat hanyalah sebatas peringkat, sebabkan
daerah-daerah tersebut tidak merasakan secara signifikan hasil SDA-nya sendiri
dan pemerintah dianggap menjadipredatory state yang
mengeksploitasi daerah secara besar-besaran tanpa menyelaraskan dengan
peningkatan pembangunan prasarana ekonomi terlebih lagi dengan penghapusan DAU
terhadap daerah-daerah tersebut .
“Landasan Hukum Perhitungan dan Penghapusan DAU”
Landasan hukum
pelaksanaan DAU adalah UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Pusat dan Keuangan Daerah. Sebagai amanat UU No.33 Tahun 2004, alokasi yang
dibagikan kepada Pemerintah Daerah oleh Pemerintah Pusat minimal 26 persen dari
total penerimaan dalam negri netto. Dengan ketentuan
tersebut maka, bergantung pada kondisi APBN dan Fiscal Sustainability Pemerintah Indonesia, alokasi DAU dapat lebih besar dari 26 persen dari
total pendapatan dalam negeri netto.
DAU diberikan
berdasarkan celah fiskal dan alokasi dasar. Celah fiskal merupakan kebutuhan
daerah yang dikurangi dengan kapasitas fiskal daerah, kebutuhan daerah dihitung
berdasarkan variabel-variabel yang ditetapkan undang-undang sedangkan
perhitungan kapasitas fiskal didasarkan atas Penerimaan Asli Daerah (PAD) dan
Dana Bagi Hasil yang diterima daerah. Sementara Alokasi Dasar dihitung
berdasarkan gaji PNS daerah.
Kebutuhan Fiskal
dapat diartikan sebagai kebutuhan daerah untuk membiayai semua pengeluaran
daerah dalam rangka menjalankan fungsi/kewenangan daerah dalam penyediaan
pelayanan publik. Dalam perhitungan DAU, kebutuhan daerah tersebut dicerminkan
dari variabel-variabel kebutuhan fiskal sebagai berikut :
a.Jumlah Penduduk
b.Luas Wilayah
c.Indeks Kemahalan
Konstruksi (IKK)
d.Indeks
Kemiskinan Relatif (IKR)
Kapasitas fiskal
daerah merupakan kemampuan pemerintah daerah untuk menghimpun pendapatan
berdasarkan potensi yang dimilikinya. Potensi penerimaan daerah merupakan
penjumlahan dari potensi PAD dengan DBH Pajak dan SDA yang diterima oleh
daerah.
Berdasarkan UU
diatas, setiap daerah yang memiliki kapasitas fiskal yang lebih besar
darikebutuhan fiskal maka dapat menerima penurunan DAU, dan atau tidak menerima
sama sekali pada tahun berikutnya. Dasar inilah yang digunakan pemerintah untuk
memberikan predikat daerah “kaya” (DKI Jakarta, Riau dan Kaltim) dan memperoleh
penghapusan DAU.
”Dampak Penghapusan DAU”
Apabila dilihat
dari sisi ekonomi, penghapusan DAU untuk beberapa daerah akan berimbas pada
pembangunan dan pertumbuhan ekonomi regional di daerah tersebut dan pada
akhirnya akan mengganggu pertumbuhan ekonomi nasional. Penghapusan ini akan
berimbas negatif terhadap stabilitas keuangan daerah, stabilitas keuangan
daerah yang terganggu ini akan berimbas kepada pelaksanaan program-program
pemerintah daerah dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat yang akan
terganggu pula. Imbas yang lain adalah terganggunya program-program pemerintah
daerah yang bertujuan untuk meningkatakan pelayanan publik/infrastruktur yang
dapat menjadi pemacu pertumbuhan ekonomi regional maupun ekonomi nasional.
Dengan penghapusan DAU tersebut juga dikhawatirkan akan mengganggu iklim
investasi di wilayah-wilayah tersebut yang dikarenakan akan meningginya biaya
investasi akibat pengenaan pajak daerah yang tinggi. Kenaikan pajak daerah yang
tinggi ini merupakan salah satu jalan yang dapat ditempuh oleh daerah untuk
menutupi pembiayan program daerah sebagai imbas dari penghapusan DAU oleh
pemerintah pusat. Penghapusan DAU inipun nantinya akan berimpas pada
ketimpangan vertical yang semakin melebar, sedangkan tujuan desentralisasi
fiskal (DAU sebagai salah satu instrumen) bertujuan untuk mengurangi/mengikis
ketimpangan vertikal antara pusat dan daerah.
Apabila dilihat
dari sisi sosial dan politik, penghapusan DAU ini mengingatkan kita kembali
kondisi ekonomi daerah sebelum tahun 1999 dimana ada kesenjangan dan
kecemburuan sosial daerah dengan pusat. Kesenjanagan dan kecemburuan sosial ini
terjadi diakibatkan ketidakadilan yang mereka peroleh, karena sampai saat
inipun masih terjadi ketidakadilan atas pembagian pendapatan eksplorasi SDA
antara daerah dengan pusat, terlebih lagi adanya penghapusan DAU. Keputusan
penghapusan ini akan berimbas kepada reaksi sosial dari tiap-tiap daerah
sehingga dapat mengganggu iklim investasi di Indonesia. Pirnsip keadilan ini
pun harus menjadi perhatian yang mendapat skala prioritas. Menurut predikat
“kaya” dari pemerintah untuk daerah-daerah yang DAU-nya yang akan dihapus
terkesan hanya predikat, karena daerah-daerah tersebut masih merasa
diberlakukan tidak adil oleh pemerintah atas pembagian hasil eksplorasi SDA.
0 komentar:
Posting Komentar