Desentralisasi pendidikan merupakan salah satu model pengelolaan
pendidikan yang menjadikan sekolah sebagai proses pengambilan keputusan dan
merupakan salah satu upaya untuk memperbaiki kualitas pendidikan serta sumber
daya manusia termasuk profesionalitas guru yang belakangan ini dirisaukan oleh
berbagai pihak baik secara regional maupun secara internasional.[1] Sistem pendidikan yang selama ini dikelola dalam suatu iklim
birokratik dan sentralistik dianggap sebagai salah satu sebab yang telah
membuahkan keterpurukan dalam mutu dan keunggulan pendidikan di tanah air kita.
Hal ini beralasan, karena sistem birokrasi selalu menempatkan “kekuasaan”
sebagai faktor yang paling menentukan dalam proses pengambilan keputusan.
Sekolah-sekolah saat ini telah terkungkung oleh kekuasaan birokrasi sejak
kekuasaan tingkat pusat hingga daerah bahkan terkesan semakin buruk dalam era
reformasi saat ini. Ironisnya, kepala sekolah dan guru-guru sebagai pihak
yang paling memahami realitas pendidikan berada pada tempat yang
“dikendalikan”. Merekalah seharusnya yang paling berperan sebagai pengambil
keputusan dalam mengatasi berbagai persoalan sehari-hari yang menghadang
upaya peningkatan mutu pendidikan. Namun, mereka ada dalam posisi tidak berdaya
dan tertekan oleh berbagai pembakuan dalam bentuk juklak dan juknis yang
“pasti” tidak sesuai dengan kenyataan obyektif di masing-masing sekolah.
Disamping itu pula, kekuasaan birokrasi juga yang menjadi faktor
sebab dari menurunnya semangat partisipasi masyarakat terhadap penyelenggaraan
pendidikan di sekolah. Dulu, sekolah sepenuhnya dimiliki oleh masyarakat, dan
merekalah yang membangun dan memelihara sekolah, mengadakan sarana pendidikan,
serta iuran untuk mengadakan biaya operasional sekolah. Jika sekolah telah
mereka bangun, masyarakat hanya meminta guru-guru kepada pemerintah untuk
diangkat pada sekolah mereka itu. Pada waktu itu, kita sebenarnya telah
mencapai pembangunan pendidikan yang berkelanjutan (sustainable development), karena sekolah
adalah sepenuhnya milik masyarakat yang senantiasa bertanggungjawab dalam
pemeliharan serta operasional pendidikan sehari-hari. Pada waktu itu,
Pemerintah berfungsi sebagai penyeimbang, melalui pemberian subsidi bantuan bagi
sekolah-sekolah pada masyarakat yang benar-benar kurang mampu. [2]
Namun, keluarnya Inpres SDN No. 10/1973 adalah titik awal dari
keterpurukan sistem pendidikan, terutama sistem persekolahan di tanah air.
Pemerintah telah mengambil alih “kepemilikan” sekolah yang sebelumnya milik
masyarakat menjadi milik pemerintah dan dikelola sepenuhnya secara birokratik
bahkan sentralistik. Sejak itu, secara perlahan “rasa memiliki” dari masyarakat
terhadap sekolah menjadi pudar bahkan akhirnya menghilang. Peran masyarakat
yang sebelumnya “bertanggungjawab”, mulai berubah menjadi hanya
“berpartisipasi” terhadap pendidikan, selanjutnya, masyarakat bahkan menjadi
“asing” terhadap sekolah. Semua sumberdaya pendidikan ditanggung oleh
pemerintah, dan seolah tidak ada alasan bagi masyarakat untuk ikut serta
berpartisipasi apalagi bertanggungjawab terhadap penyelengaraan pendidikan di
sekolah.[3]
Berdasarkan pengalaman empiris tersebut, maka kemandirian setiap
satuan pendidikan sudah menjadi satu keharusan dan merupakan salah satu sasaran
dari kebijakan desentralisasi pendidikan saat ini. Sekolah-sekolah sudah
seharusnya menjadi lembaga yang otonom dengan sendirinya, meskipun pergeseran
menuju sekolah-sekolah yang otonom adalah jalan panjang sehingga memerlukan
berbagai kajian serta perencanaan yang hati-hati dan mendalam. Jalan panjang
ini tidak selalu mulus, tetapi akan menempuh jalan terjal yang penuh dengan
onak dan duri. Orang bisa saja mengatakan bahwa paradigma baru untuk mewujudkan
pengelolaan pendidikan yang demokratis dan partisipatif, tidak dapat
dilaksanakan di dalam suatu lingkungan birokrasi yang tidak demokratis. Namun,
pengembangan demokratisasi pendidikan tidak harus menunggu birokrasinya menjadi
demokratis dulu, tetapi harus dilakukan secara simultan dengan konsep yang
jelas dan transparans.
Selanjutnya desentralisasi pendidikan memberikan kesempatan kepada
pemerintah daerah maupun sekolah untuk mengambil keputusan terbaik tentang
penyelenggaraan pendidikan di daerah atau sekolah yang bersangkutan berdasarkan
potensi daerah dan stakeholders sekolah. Olah karenanya,
desentralisasi pendidikan disamping diakui sebagai kebijakan politis yang
berkaitan dengan pendidikan, juga merupakan kebijakan yang berkait dengan
banyak hal. Paqueo dan Lammaert menunjukkan alasan-alasan desentralisasi
penyelenggaraan pendidikan yang sangat cocok untuk kondisi Indonesia, yaitu;
(1) kemampuan daerah dalam membiaya pendidikan, (2) peningkatan efektivitas dan
efesiensi penyelenggaraan pendidikan dari masing-masing daerah, (3)
redistribusi kekuatan politik, (4) peningkatan kualitas pendidikan, (5) peningkatan
inovasi dalam rangka pemuasan harapan seluruh warga negara.[4]
Sesuai dengan tuntutan reformasi dan demokratisasi di bidang
pendidikan, pengelolaan pendidikan di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari
keinginan dan tujuan bangsa Indonesia dalam penyelenggaran pendidikan itu
sendiri. Sebagai contoh dalam pendidikan dasar, propenas menyebutkan kegiatan
pokok dalam upaya memperbaiki manajemen pendidikan dasar di Indonesia adalah:
1.
Melaksanakan desentralisasi bidang pendidikan secara bertahap,
bijaksana dan profesional, termasuk peningkatan peranan stakeholders sekolah;
2.
Mengembangkan pola penyelenggaraan pendidikan secara
desentralisasi untuk meningkatkan efesiensi pemanfaatan sumber daya pendidikan
dengan memperhatikan kondisi dan kebutuhan masyarakat setempat;
3.
Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan
pendidikan, seperti diversifikasi penggunaan sumber daya dan dana;
4.
Mengembangkan sistem insentif yang mendorong terjadinya kompetensi
yang sehat baik antara lembaga dan personil sekolah untuk pencapaian tujuan
pendidikan
5.
Memberdayakan personil dan lembaga, antara lain melalui pelatihan
yang dilaksanakan oleh lembaga profesional.
6.
Meninjau kembali semua produk hukum di bidang pendidikan yang
tidak sesuai lagi dengan arah dan tuntutan pembangunan pendidikan; dan
7.
Merintis pembentukan badan akreditasi dan sertifikasi mengajar di
daerah untuk meningkatkan kualitas tenaga kependidikan secara independen.[5]
Atas dasar amanat seperti yang dirumuskan dalam propenas di atas,
maka sangat jelas bahwa tekad bangsa Indonesia untuk mewujudkan sistem
pendidikan secara desentralistik terkesan sangat kuat. Dengan sistem ini
pendidikan dapat dilaksanakan lebih sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan
masyarakat, di mana proses pengambilan keputusan dapat dilakukan oleh
pihak-pihak yang paling dekat dengan proses pembelajaran (kepala sekolah, guru,
dan orang tua peserta didik). Adanya otonomisasi daerah yang sekaligus disertai
dengan otonomi penyelenggaraan pendidikan atau desentralisasi pendidikan,
hendaknya dapat mencapai sasaran utama progam restrukturisasi sistem dan
manajemen pendidikan di Indonesia. Restrukturisasi dimaksud antara lain
mencakup hal-hal sebagai berikut:
1.
Struktur organisasi pendidikan hendaknya terbuka dan dinamis,
mencerminkan desentralisasi dan pemberdayaan masyarakat dalam penyelenggaraan
pendidikan.
2.
Sarana pendidikan dan fasilitas pembelajaran dibakukan berdasarkan
prinsip edukatif sehingga lembaga pendidikan merupakan tempat yang menyenangkan
untuk belajar, berprestasi, berkreasi, berkomunikasi, berolah raga serta
menjalankan syariat agama.
3.
Tenaga kependidikan, terutama tenaga pengajar harus benar-benar
profesional dan diikat oleh sistem kontrak kinerja.
4.
Struktur kurikulum pendidikan hendaknya mengacu pada penerapan
sistem pembelajaran tuntas, tidak terikat pada penyelesaian target kurikulum
secara seragam per catur wulan dan tahun pelajaran
5.
Proses pembelajaran tuntas diterapkan dengan berbagai modus
pendekatan pembelajaran, peserta didik aktif sesuai dengan tingkat kesulitan
konsep-konsep dasar yang dipelajari.
6.
Sistem penilaian hasil belajar secara berkelanjutan perlu
diterapkan di setiap lembaga pendidikan sebagai konsekuensi dari pelaksanaan
pembelajaran tuntas.
7.
Dilakukan supervisi dan akreditasi. Supervisi dan pembinaan
administrasi akdemik dilakukan oleh unsur manajemen tingkat pusat dan provinsi
yang bertujuan untuk mengendalikan mutu (quality
control). Sedangkan akreditasi dilakukan untuk menjamin mutu quality
assurance) pelayanan kelembagaan.
8.
Pendidikan berbasis masyarakat seperti pondok pesantren,
kursus-kursus keterampilan, pemagangan di tempat kerja dalam rangka pendidikan
sistem ganda harus menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional.
9.
Formula pembiayaan pendidikan atau unit cost dan subsidi
pendidikan harus didasarkan pada bobot beban penyelenggaraan pendidikan yang
memperhatikan jumlah peserta didik, kesulitan komunikasi, tingkat kesejahteraan
masyarakat dan tingkat partisipasi pendidikan serta kontribusi masyarakat
terhadap pendidikan pada setiap sekolah.[6]
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka dapat dipahami bahwa
desentralisasi pendidikan pada hakekatnya berkorelasi positif terhadap
peningkatan mutu lulusan lembaga pendidikan dan efesiensi pengelolaan
pendidikan. Apabila sekolah dapat dikelola dengan optimal oleh personalia yang
profesional, pengambilan keputusan dilakukan oleh pihak-pihak yang lebih dekat
dan tahu tentang kebutuhan dan potensi sekolah, maka mutu pendidikan akan
semakin menunjukan pada tingkat maksimal sesuai yang diharapkan.
1 Hadiyanto, Mencari Sosok Desentralisasi Manajemen Pendidikan di Indonesia,(Jakarta : Rineka Cipta, 2004), h. 63
2 Ace Suryadi, Mewujudkan Sekolah-sekolah Yang Mandiri dan Otonom,Disampaikan pada Sosialisasi Pemberdayaan Dewan Pendidikan Dan
Komite Sekolah Juni 2003
[4] V. Paqueo dan J. Lammert, Decentarlization in Education ( New York: Education
Reform dan Management Thematic Goup, 2000), h. 23
[5] Komite Reformasi Pendidikan, Naskah Akademik Rancangan Undang-undang Nasional, (Jakarta: Balitbang Depdiknas, 2001), h. 154
[6] I. Musa, Otonomi Penyelenggaraan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jurnal Pendidikan Volume 2
No. 2 September
0 komentar:
Posting Komentar