Dunia perniagaan
modern berpaling kepada Alternatif Dispute Resolution (ADR) sebagai
penyelesaian sengketa alternatif karena keperluan perniagaan modern menghendaki
penyelesaian sengketa yang cepat dan tidak menghambat iklim perniagaan
sedangkan lembaga penyelesaian sengketa yang tersedia (yaitu Pengadilan) dirasa
tidak dapat mengakomodasikan harapan demikian. Keberadaan arbitrase sebagai
salah satu alternatif penyelesaian sengketa sebenarnya sudah lama dikenal
meskipun jarang dipergunakan. Hal ini ditandai dengan adanya UU No. 30 tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam UU No. 4
tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Keberadaan Arbitrase dapat dilihat dalam
penjelasan Pasal 3 ayat(1)yang antara lain menyebutkan bahwa penyelesaian
perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap
diperbolehkan. akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan
eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi dari
Pengadilan. Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode pengumpulan
data dengan cara studi kepustakaan (Library Research), yaitu mempelajari dan
menganalisa secara sistematis buku-buku, majalah-majalah, surat kabar,
peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan
materi yang dibahas dalam skripsi ini. Metode yang digunakan untuk menganalisis
data adalah analisis kualitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian disusun
secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai
kejelasan masalah yang akan dibahas. Lembaga Peradilan diharuskan menghormati
lembaga arbitrase sebagaimana yang termuat dalam Pasal 11 ayat (2) UU No. 30
tahun 1999 yang menyatakan bahwa pengadilan negeri tidak berwenang mengadili
sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Pengadilan
Negeri wajib menolak dan tidak ikut campur tangan dalam suatu penyelesaian
sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase. Hal tersebut merupakan
prinsip limited court involment. Dilarangnya carnpur tangan pengadilan hanya
untuk menegaskan bahwa arbitrase adalah sebuah lembaga yang mandiri
(independen), dan menjadi kewajiban pengadilan untuk menghormati lembaga
arbitrase. Meskipun arbitrase merupakan suatu lembaga independen yang terpisah
dari pengadilan, tidak berarti bahwa tidak ada kaitan yang erat antara
keduanya. Seperti dua sisi dari sekeping mata uang yang sama, meskipun dapat
dibebankan, arbitrase tidak dapat dipisahkan dari lembaga pengadilan.Lembaga
arbitrase membutuhkan dan masih tergantung pada pengadilan, misalnya dalam
pelaksanaan putusan arbitrase. Adanya keharusan putusan arbitrase untuk
didaftarkan di pengadilan negeri menunjukkan bahwa lembaga arbitrase tidak mempunyai
upaya pemaksa terhadap para pihak untuk menaati putusannya. Dalam UU No. 30
tahun 1999 banyak diatur peranan pengadilan dalam penyelenggaraan arbitrase,
yaitu sejak dimulainya proses arbitrase sampai dilaksanakannya putusan
arbitrase. Berikut ini adalah beberapa contoh dalam hal apa dan bagaimana peran
pengadilan terhadap pelaksanaan arbitrase.Pada intinya terhadap perkara yang
sudah memiliki klausul arbitrase tidak bisa diajukan ke pengadilan negeri, dan
untuk perkara yang sudah dijatuhkan putusan arbitrasenya tidak bisa diajukan
lagi ke pengadilan, kecuali apabila ada perbuatan melawan hukum, sehingga pihak
yang dirugikan bisa menggugat ke pengadilan negeri atas dasar perbuatan melawan
hukum dalam hal pengambilan putusan arbitrase yang tidak berdasar itikad baik.
040200282 Prof. Dr. Tan Kamello, SH.MS M. Hayat, SH
0 komentar:
Posting Komentar