Kesimpulan isi atau kandungan surah Ali Imran, 3: 159
tersebut adalah merupakan penjelasan bahwa berkat adanya rahmat Allah SWT yang
amat besar, Nabi Muhammad SAW merupakan sosok pribadi yang berbudi luhur dan
berakhlak mulia. Beliau tidak bersifat dan berperilaku keras serta berhati
kasar. Bahkan sebaliknya, beliau adalah orang yang berhati lembut, dan
berperilaku baik yang diridai Allah SWT serta mendatangkan berbagai manfaat bagi
masyarakat. Selain itu, dalam pergaulan Rasulullah SAW senantiasa member maaf
kepada orang yang telah berbuat salah, khususnya terhadap para sahabatnya yang
telah melakukan pelanggaran. Dalam perang Uhud Rasulullah SAW juga memohonkan
ampun pada Allah SWT terhadap kesalahan mereka dan bermusyawarah dalam hal-hal
yang perlu dimusyawarahkan. Untuk melaksanakan tekadnya, khususnya hasil
musyawarah Rasulullah SAW selalu bertawakal pada Allah SWT.
Karena budinya yang luhur, dan akhlaknya yang mulia seperti tersebut
Rasulullah SAW memperoleh simpati dalam pergaulan, khususnya disenangi dan
didekati oleh para sahabatnya serta dicintai oleh Allah SWT.
Perlu pula diketahui bahwa salah satu yang menjadi penekanan
pokokdalam surah Ali Imran, 3: 159 itu dalah perintah untuk melakukan
musyawarah. Perinyah ini bukan hanya ditunjukan kepada Nabi Muhammad SAW,
tetapi kepada seluruh pengikutnya yakni umat islam, di mana pun mereka berada.
Kata musyawarah berasal dari akar kata arab
(syawara) yang artinya, secara kebahasaan ialah mengeluarkan madu dari sarang
lebah. Sedangkan menurut istilah yang dimaksud, dengan musyawarah itu
ialah berunding antara seseorang dengan orang lain, antara satu golongan
dan golongan lain, mengenai suatu masalah, dengan maksud untuk mengambil keputusan
atau kesepakatan bersama.
Mengacu kepada Al-Qur’an surah Ali Imran, 3: 159, maka di
dalam pergaulan hidup bermasyarakat, khususnya dalam bermusyawarah, hendaknya
diterapkan prinsip-prinsip umum sebagai berikut ini:
1. Melandasi musyawarah dengan
hati yang bersih, tidak kasar, lemah lembut, dan penuh kasih sayang.
2. Dalam bermusyawarah
hendaknya bersikap dan berperilaku baik, seperti: tidak berperilaku keras,
dengan tutur kata yang sopan, saling menghormati, dan saling menghargai, serta
melakukan usaha-usaha agar hasil musyawarah itu berguna.
3. Para peserta musyawarah
hendaknya berlapang dada, bersedia memberi maaf apabila dalam musyawarah itu
terjadi perbedaan-perbedaan pendapat, dan bahkan terlontar ucapan-ucapan yang
menyinggung perasaan, juga bersedia memohonkan ampun atas kesalahan para
peserta musyawarah, jika memang bersalah.
4. Hasil musyawarah yang telah
disepakati bersama hendaknya dilaksanakan dengan bertawakal kepada Allah SWT.
Orang-orang yang bertawakal tentu akan berusaha sekuat tenaga, diiringi dengan
doa kepada Allah Azza wajalla, sedangkan hasilnya diserahkan kepada
Allah SWT. Sesungguhnya Allah SWT itu menyukai orang-orang yang bertawakal.
Suatu hal yang perlu disadari bahwa musyawarah yang
diterapkan dari mulai lembaga terendah yaitu keluarga, sampai dengn lembaga
tertinggi, yaitu MPR, hasilnya jangan sampai menyimpang dari ajaran Allah SWT
dan Rasul-nya (Al-Qur’an dan Hadis). Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT
yang artinya: “… Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan rasul (Hadis).” (Q.S.
An-Nisa, 4: 59).
Hal lain yang perlu diperhatikan oleh setiap
Muslim/Muslimah, bahwa lapangan yang dimusyawarahkan terbatas pada
masalah-masalah kemasyarakatan, yang tidak ada petunjuknya secara tegas dan
jelas dalam Al-Qur’an dan Hadis. Misalnya usaha mengatasi kesulitan ekonomi
dalam keluarga, masalah usaha mewujudkan keamanan dan ketertiban dalam
masyarakat, dan masalah menghilangkan kebodohan dan kemiskinan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara (lihatQ.S Al-Ahzab, 33: 36).
0 komentar:
Posting Komentar