Setelah Berkunjung Silahkan Berkomentar

Riko Anwar Saputra


Kamis, 10 Januari 2013

Kewenangan Pengadilan Negeri Menyelesaikan Sengketa Bisnis Dalam Hal Adanya Klausul Arbitrase


Dunia perniagaan modern berpaling kepada Alternatif Dispute Resolution (ADR) sebagai penyelesaian sengketa alternatif karena keperluan perniagaan modern menghendaki penyelesaian sengketa yang cepat dan tidak menghambat iklim perniagaan sedangkan lembaga penyelesaian sengketa yang tersedia (yaitu Pengadilan) dirasa tidak dapat mengakomodasikan harapan demikian. Keberadaan arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa sebenarnya sudah lama dikenal meskipun jarang dipergunakan. Hal ini ditandai dengan adanya UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Keberadaan Arbitrase dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 3 ayat(1)yang antara lain menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan. akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi dari Pengadilan. Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan (Library Research), yaitu mempelajari dan menganalisa secara sistematis buku-buku, majalah-majalah, surat kabar, peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini. Metode yang digunakan untuk menganalisis data adalah analisis kualitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas. Lembaga Peradilan diharuskan menghormati lembaga arbitrase sebagaimana yang termuat dalam Pasal 11 ayat (2) UU No. 30 tahun 1999 yang menyatakan bahwa pengadilan negeri tidak berwenang mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak ikut campur tangan dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase. Hal tersebut merupakan prinsip limited court involment. Dilarangnya carnpur tangan pengadilan hanya untuk menegaskan bahwa arbitrase adalah sebuah lembaga yang mandiri (independen), dan menjadi kewajiban pengadilan untuk menghormati lembaga arbitrase. Meskipun arbitrase merupakan suatu lembaga independen yang terpisah dari pengadilan, tidak berarti bahwa tidak ada kaitan yang erat antara keduanya. Seperti dua sisi dari sekeping mata uang yang sama, meskipun dapat dibebankan, arbitrase tidak dapat dipisahkan dari lembaga pengadilan.Lembaga arbitrase membutuhkan dan masih tergantung pada pengadilan, misalnya dalam pelaksanaan putusan arbitrase. Adanya keharusan putusan arbitrase untuk didaftarkan di pengadilan negeri menunjukkan bahwa lembaga arbitrase tidak mempunyai upaya pemaksa terhadap para pihak untuk menaati putusannya. Dalam UU No. 30 tahun 1999 banyak diatur peranan pengadilan dalam penyelenggaraan arbitrase, yaitu sejak dimulainya proses arbitrase sampai dilaksanakannya putusan arbitrase. Berikut ini adalah beberapa contoh dalam hal apa dan bagaimana peran pengadilan terhadap pelaksanaan arbitrase.Pada intinya terhadap perkara yang sudah memiliki klausul arbitrase tidak bisa diajukan ke pengadilan negeri, dan untuk perkara yang sudah dijatuhkan putusan arbitrasenya tidak bisa diajukan lagi ke pengadilan, kecuali apabila ada perbuatan melawan hukum, sehingga pihak yang dirugikan bisa menggugat ke pengadilan negeri atas dasar perbuatan melawan hukum dalam hal pengambilan putusan arbitrase yang tidak berdasar itikad baik. 040200282 Prof. Dr. Tan Kamello, SH.MS M. Hayat, SH

0 komentar:

Posting Komentar